By: Admin | 15 Agustus 2022
By: Admin | 15 Agustus 2022
2 tahun yang lalu
2 tahun yang lalu
2 tahun yang lalu
Krisis, dari bahasa Yunani adalah setiap peristiwa yang sedang terjadi (atau diperkirakan) mengarah pada situasi tidak stabil dan berbahaya yang memengaruhi individu, kelompok, komunitas, atau seluruh masyarakat. Krisis dianggap membawa perubahan negatif dalam urusan keamanan, ekonomi, politik, sosial, atau lingkungan, terutama ketika krisis terjadi tiba-tiba, dengan sedikit atau tanpa peringatan. Lebih jauh, krisis adalah istilah yang berarti “waktu pengujian” atau “peristiwa darurat”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), krisis adalah 1) keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit); parah sekali; 2) keadaan yang genting; kemelut; 3) keadaan suram (tentang ekonomi, moral, dan sebagainya); 4) Saat yang menentukan di dalam cerita atau drama ketika situasi menjadi berbahaya dan keputusan harus diambil; 5) Konfrontasi yang intensif dan dahsyat yang terjadi dalam waktu singkat dan merupakan ganti peperangan dalam era nuklir;
Sedangkan menurut bahasa mandarin untuk Krisis adalah 危机 (wēi jī) berasal dari kata 危险 (wēi xiǎn, danger) dan 机会 (jī huì, opportunity). Untuk itu setiap 危机, wēi jī (krisis), selalu memiliki 2 dimensi : pertama 有危 (yǒu wēi, ada bahaya), kedua 有机 (yǒu jī, ada kesempatan atau peluang). Jadi di setiap krisis walaupun memang memiliki bahaya, namun juga mengandung kesempatan/peluang yang menuju kepada harapan/kesuksesan.
Krisis Menimbulkan Ketidakpastian
Apakah Anda sudah menonton film Uncertainty yang beberapa tahun lalu diputar di bioskop? Film ini dimulai ketika pasangan muda, Bobby (diperankan oleh Joseph Gordon Levitt) dan Kate (diperankan oleh Lynn Collins), yang telah bersama-sama selama 10 bulan, menemukan ketidakpastian dalam hidup mereka. Kate yang sedang hamil 11 minggu tidak tahu akan ke mana pada tanggal 4 Juli. Di tengah kebingungan, alih-alih berpikir rasional untuk mengambil keputusan, mereka memutuskan untuk melempar koin. Setelah Bobby melempar koin, mereka masing-masing berlari ke arah yang berlawanan di jembatan Brooklyn. Setelah itu, penonton diajak mengikuti dua jalan cerita berbeda.
Cerita pertama terjadi di Brooklyn, dimana Bobby dan Kate memutuskan untuk mengunjungi keluarga Kate. Mereka menemukan seekor anjing, yang mereka tidak tahu siapa pemiliknya. Paman Kate menderita hilang ingatan, saudara laki-lakinya meninggal dunia 5 tahun silam, dan saudara perempuannya akan sekolah ke universitas, kecemasan sang Ibu yang berlebihan.
Sedangkan, cerita kedua terjadi di Manhattan, dimulai dari daerah Chinatown, di mana Bobby dan Kate menemukan handphone, yang berharga US$500.000. Mereka berusaha menukarkan handphone tersebut dengan uang US$500.000, namun tidak berhasil. Bobby, akhirnya, membuang handphone tersebut.
Kedua cerita di atas berakhir pada hari berikutnya, di jembatan Brooklyn, dengan pertanyaan yang menggelitik, “What do we want to do now? What do we do now? I do not know. I guess we just keep going.” Film yang diproduseri oleh Scott McGehee and David Siegel, ingin mengingatkan bahwa sekecil apapun keputusan yang diambil, bisa menimbulkan ketidakpastian. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita akan menjumpai ketidakpastian. Dan, agar kita mampu menghadapi ketidakpastian, kita membutuhkan cara-cara kepemimpinan yang berbeda.
Kisah film di atas, mengingatkan keadaan dunia saat ini yang sedang mengalami uncertainty (ketidakpastian). Dunia dilanda kecemasan karena pandemi Covid-19 (Virus Corona). Dunia mengalami tantangan baru.
Pemimpin organisasi di seluruh dunia saat ini mempunyai tantangan yang sama, yakni bagaimana mereka bisa memimpin dan bertindak secara efektif di tengah pandemi Corona yang penuh ketidakpastian. Kepemimpinan mengalami ujian. Bukan hanya, kepemimpinan di tingkat negara, tapi juga di level perusahaan. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana memimpin dengan sukses di masa krisis yang penuh dengan ketidakpastian, disruptive, dan chaos ini?
Tiga Keahlian di Masa Krisis
Jim Collins dan Morten T. Hansen, di dalam buku mereka yang berjudul Great by Choice (HarperBusiness, Oktober, 2011), mereka menemukan tiga karakteristik utama kepemimpinan yang diperlukan untuk memimpin di masa krisis dan ketidakpastian: ketakutan produktif (Paranoia productive), kreativitas empiris (Empirical creativity), dan disiplin fanatik (Fanatic discipline). Mereka melakukan penelitian terhadap para pemimpin perusahaan yang berhasil bertumbuh menjadi “Great Company” di tengah kondisi industri yang kacau-balau, dan penuh ketidakpastian. Industri yang diteliti termasuk biotech, semiconductor, personal computer, dan industri penerbangan.
Pertama, ketakutan produktif. Ini adalah kemampuan untuk menjadi sangat waspada tentang peristiwa-peristiwa buruk yang berpotensi menghantam kinerja perusahaan, lalu kemudian dengan pikiran jernih, mengubah ketakutan itu menjadi persiapan dan tindakan antisipatif. Pada era ini, pemimpin tidak hanya duduk diam dalam ketakutan, tetapi ia kudu bertindak. Contohnya, Herb Kelleher (Mantan CEO of Southwest Airlines), yang ngotot mengimplementasikan efisiensi biaya dan menjalankan lean operation, walaupun perusahaan masih dalam masa jayanya, sehingga Southwest Airlines selalu siap menyongsong badai, entah badai itu akan terjadi atau tidak akan terjadi. Bill Gates sangat awas tentang apa yang bisa menghantam, memukul, dan merusak Microsoft. “Ketakutan akan memandu Anda,” kata Bill Gates pada tahun 1994.
Kedua, kreativitas empiris. Hanya bertahan hidup tidak akan menghasilkan apa-apa di era ketidakpastian. Sesuatu yang baru harus diciptakan. Pemimpin diwajibkan menjadi sangat kreatif – untuk membuat produk dan pelayanan baru yang diminati pasar. Collins dan Hansen menemukan bahwa prinsip kepemimpinan yang membuat perbedaan adalah adanya pendekatan tertentu dalam hal kreativitas. Mereka menyebutnya kreativitas empiris, yaitu kemampuan untuk secara empiris memvalidasi naluri kreatif. Ini berarti pemimpin menggunakan pengamatan langsung, melakukan eksperimen praktis, dan terlibat langsung di lapangan, daripada hanya mengandalkan opini, pendapat, asumsi, dan analisis di atas kertas belaka.
Ketiga, disiplin fanatik. Disiplin dapat berarti banyak hal – bekerja keras, taat aturan, patuh, dan lain-lain. Namun, Collins dan Hansen mengartikan disiplin fanatik sesuatu yang lain, yaitu konsistensi tindakan. Konsistensi terhadap nilai-nilai organisasi, tujuan jangka panjang, dan standar kinerja tinggi. Tidak peduli apakah sedang pandemi corona, pasar sedang turun, resesi ekonomi global, atau sengitnya persaingan, pemimpin mesti sangat disiplin dengan menunjukkan konsistensinya terhadap visi jangka panjang dan semua tindakan untuk mewujudkannya.
Sikap Pemimpin Sejati di Masa Krisis
Seperti yang dijelaskan di atas, bahasa mandarin untuk Krisis adalah 危机 (wēi jī) berasal dari kata 危险 (wēi xiǎn, danger) dan 机会 (jī huì, opportunity). Untuk itu setiap 危机, wēi jī (krisis), selalu memiliki 2 dimensi : pertama 有危 (yǒu wēi, ada bahaya), kedua 有机 (yǒu jī, ada kesempatan atau peluang). Jadi di setiap krisis walaupun memang memiliki bahaya, namun juga mengandung peluang yang menuju kesuksesan di masa depan.
Ketika krisis terjadi, pemimpin sejati tidak hanya fokus dan larut dalam bahaya, tapi melihat peluang dan kesempatan. Salah satu kesempatan yang harus terus dan tetap dilakukan oleh organisasi adalah mengembangkan kompetensi karyawan. Proses pengembangan kompetensi karyawan tidak boleh berhenti. Karena training karyawan yang Anda lakukan di masa krisis, akan menuai hasil yang luar biasa (peluang) pada saat krisis berlalu (tidak ada krisis yang bertahan selamanya). Karena adanya aturan physical distancing di corona ini, maka mungkin Anda tidak bisa melakukan training secara tatap muka, tetapi kita tetap bisa melakukan training secara online. Hanya orang dan organisasi yang mempersiapkan diri di masa krisis yang akan mendapatkan peluang setelah terjadinya krisis (post crisis).
Dari hasil studi Collins dan Hansen, dapat disimpulkan bahwa memimpin di tengah krisis dan ketidakpastian tidak cukup hanya duduk manis di belakang meja, sekadar mengandalkan intuisi meneropong masa depan, hanya menjadi pemimpin yang karismatik, apalagi hanya menjadi pemimpin yang bersandar pada pencintraan belaka. Dibutuhkan lebih dari pada itu. Di tengah krisis, pemimpin membutuhkan tiga ketrampilan kepemimpinan: disiplin fanatik membuat organisasi on the right track, kreativitas empiris membuat orang-orang bersemangat, dan ketakutan produktif membuat manusia tetap hidup.
Diambil dari berbagai sumber referensi!